Friday, February 15, 2019

Tingkat Kematian Ayam Karena Terkenak Flu Burung


Isu flu burung yang menyerang unggas utamanya ayam potong di sejumlah kota di Provinsi Jawa Timur (Jatim) berimbas kepada pedagang daging ayam di kota-kota besar, seperti Surabaya, Malang, dan Mojokerto hingga pangsanya anjlok sekitar 50%-60% dalam dua hari terakhir.

Sabung Ayam Online - Kendati harga daging ayam sedang turun dari yang semula mencapai Rp 34.000 per kilogram (/kg), selama sepekan terakhir sudah merosot kembali menjadi Rp 26.000/kg daru harga sebelumnya sekitar Rp 24.000/kg.

“Isu flu burung memang rentan bagi kami pedagang daging ayam. Saya yang semula rata-rata mampu menjual empat kwintal (400 kg) sehari, sekarang tidak lebih dari 75 kg saja. Stok ayam hidup kami sangat banyak, dan tidak ada satupun yang mati karena flu burung,” ujar H Sadikin (55) pedagang ayam potong broiler di Pasar Blimbing, Kota Malang, semalam.

Dampak lain juga melanda pedagang sate ayam yang dalam sepekan terakhir mengalami penurunan tajam. Jika pusat sate ayam di Jalan Ambengan, Kota Surabaya, di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Malang, dan di Jalan Bhayangkara, Kota Mojokerto, sebelum merebak isu flu burung beberapa hari terakhir mampu menjual minimal rata-rata 30-60 kilogram sehari (kg/hari), kini anjlok hanya 5-10 kg/hari.

“Kita sedang berpuasa mas, gara-gara isu flu burung menjadikan pelanggan kita off. Mudah-mudahan ini hanya sementara, dan suasana gairah makan sate ayam segera kembali,” aku Sulaiman Hadi (50), boss kedai sate ayam di Jalan Soekarno-Hatta Kota Malang, semalam.

Hal yang sama juga dikemukakan Munandar (59), pemilik kedai sate ayam di Jalan Bhayangkara Kota Mojokerto, yang biasanya mampu menjual 25 kg/hari, dalam beberapa hari ini hanya laku 5 kg/hari. Sisa sate yang semula bertahan dua hari, terpaksa dijual ke peternak ikan lele untuk pakan dengan harga Rp 7.000/kg.

Diteliti

Sedikinya ada 14 pakar peneliti dari Avian Influenza Research Center (AIRC) Fakultas Kedikteran Hewan Universitas Airlangga (FKH Unair) Surabaya meneliti sampel virus Flu H5N1 atau flu burung yang kini merebak di sejumlah wilayah kota di Jatim, diantaranya di Probolinggo, Lamongan dan Banyuwangi.

Kepala AIRC Unair, Dr drh Chairul Anwar Nidom MS di Surabaya, Minggu mengatakan telah menerjunkan 14 peneliti untuk mengambil sampel virus di Lamongan dan Banyuwangi dan Malang.

Ia mengaku bekerja sama dengan Dinas Peternakan (Disnak) Jatim guna menganalisis sampai seberapa jauh perubahan atau mutasi pada tubuh virus, termasuk apakah ada potensi virus untuk berubah pindah ke manusia.

Chairul Anwar kemudian menunjuk pada pengambilan sampel virus flu burung, sekaligus dengan mengambil 20 spesimen sampel dari tubuh penjual unggas di pasar tradisional maupun peternak ayam di sekitar lokasi kejadian.

“Kita menerima informasi sedikitnya 7.000 ekor unggas jenis itik, ayam, dan menthok di satu dusun di Kabupaten Banyuwangi dan 600 ekor lainnya di satu desa di Lamongan ,dilaporkan positif mati karena virus flu H5N1. Untuk kabupaten kota lainnya kami masih menunggu laporan dari Disnak Jatim, termasuk dari Malang,” ujar Chairul Anwar lagi.

Menurut dia, ada laporan bahwa seorang peternak di Banyuwangi sempat diperiksa karena ikut sakit dan diduga terjangkit zoonosis atau penyakit yang berasal dari hewan yang dipeliharanya. Tetapi ia memastikan yang bersangkutan tidak terjangkit flu burung.

“Saya minta pemerintah mengawasi penggunaan vaksin terhadap ternak unggas. Penggunaan vaksin flu burung yang tidak terkendali ditengarai sebagai pemicu merebaknya kembali penyakit tersebut di Indonesia,” tandas Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair Surabaya itu.

Ditegaskan, bahwa proses penularan bisa terjadi melalui berbagai medium yaitu air, udara, kontaminasi melalui lalu lintas orang dan kendaraan, termasuk metode angon.

Metode angon yang dimaksud terkait hewan yang kosong atau tanpa antibodi karena tidak divaksin, bisa bertemu dengan hewan yang sudah divaksin. Masih menurut dia, di Indonesia masih berkembang pemahaman mengenai pemberian vaksin yang tidak tepat.

Masyarakat beranggapan bahwa vaksinasi seperti memberi vitamin pada hewan, kapan pun dan berapa kali pun diperbolehkan.

“Ini yang tidak boleh, karena selain akan menibulkamn penyakit, juga berdampak pada anggaran pemerintah daerah (Pemda) setempat,” katanya.

Menurut Nidom, anggaran dana yang tidak tepat juga menjadi pemicu penyalahgunaan vaksin. Pada waktu pengajuan anggaran, tidak jarang pemerintah hanya menyetujui sebagian dari populasi ternak yang seharusnya diberi vaksin.

Pengawasan penggunaan vaksin tidak kalah penting dibandingkan pemberian vaksin pascakejadian terhadap ternak unggas,” katanya.